Senin, Februari 18, 2008

MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF (COOPERATIVE LEARNING) DAN KAITANNYA DALAM MENINGKATKAN KAPASITAS SISWA


Oleh: Siti Rosmawar Is*

Abstrak: Salah satu tugas guru dalam pembelajaran adalah menyediakan pengalaman belajar bagi siswa. Sebab pada prinsipnya suatu pendekatan pembelajaran memiliki pengaruh terhadap proses perolehan konsep siswa. Sekalipun banyak model dan metode mengajar telah dikembangkan di Indonesia saat ini, namun penerapannya masih kurang, sehingga banyak guru yang belum mengenal bahkan belum pernah menerapkannya dalam proses pembelajaran. Ada sejumlah model pengajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran, antara lain model “concept attainment”, inquiri, induktif, STS, dan “cooperative learning”.

Kata kunci: pembelajaran kooperatif, metode mengajar

Pengantar
Belajar kelompok adalah suatu istilah umum dalam strategi belajar mengajar yang didisain untuk membantu pengembangan kerjasama dan interaksi antar siswa. Strategi ini didisain untuk menghilangkan rasa kom-petisi atau persaingan yang sering ditemukan yang terjadi dalam kelas, dan cenderung menghasilkan kelompok-kelompok siswa yang menang dan siswa yang kalah[1]. Lebih lanjut Slavin mendefinisikan pembelajaran kooperatif sebagai: “cooperative learning methods share the idea that students work together to learn and are responsible for one another’s learning as well as their own” [2]
Definisi di atas mengandung pengertian bahwa dalam pembelajaran secara kelompok siswa belajar secara bersama, saling menyumbangkan pikiran dan bertanggung jawab terhadap keberhasilan belajar baik secara individu meupun secara kelompok. Disamping memiliki pengertian luas yang meliputi belajar berkolaborasi, belajar secara kelompok, dan kerja kelompok, juga menunjukkan ciri sosiologis yaitu penekanannya pada aspek tugas-tugas kolektif yang harus dikerjakan bersama dalam kelompok dan pendelegasian wewenang dari guru kepada siswa[3].
Belajar kelompok merupakan metode pembelajaran yang menekankan adanya kerja sama, yaitu kerjasama antar siswa dalam kelompok untuk mencapai tujuan belajar. Lebih lanjut Rahayu menyatakan bahwa “Cooperative learning (belajar kelompok) merupakan suatu lingkungan belajar di kelas, dimana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang mempunyai kemampuan yang berbeda-beda untuk mencapai suatu tujuan umum[4]. Belajar kelompok merupkan pendekatan yang dilakukan agar siswa dapat bekerja sama satu dengan yang lain untuk memahami kebermaknaan isi pelajaaran dan bekerja sama secara aktif dalam menyelesaikan tugas.
Belajar kelompok ditandai dengan adanya tugas bersama dari siswa yang kemudian diterjemahkan menjadi tujuan yang harus dicapai oleh kelompok. Adanya pembagian tugas dalam kelompok baik tugas individu maupun tugas kelompok, adanya kerjasama dalam arti bahwa kriteria utama keberhasilan di-tentukan pada prestasi bersama dalam kelompok. Kelompok yang efektif ditandai dengan suasana yang hangat dan produktivitas yang tinggi dalam pemenuhan tugas-tugas, tanpa adanya anggota kelompok yang dikorbankan dan ditonjolkan.[5]
Dalam pengelompokan heterogen, para siswa diberi tugas agar bisa me-maksimalkan atau menampakkan keragaman anggota kelompok baik kemampu-an, prestasi, jenis kelamin, latar belakang ras atau etnis, usia, dan sikap terhadap pokok bahasan, dan juga kemampuan dalam memimpin. Deutsch (dalam Eggen, Paul D) menjelaskan bahwa belajar kelompok pada umumnya melibatkan kelompok heterogen yang bekerjasama pada tugas-tugas yang diusun secara cermat untuk memberikan tugas-tugas khusus dan kontribusi-kontribusi individu dari masing-masing anggota kelompok. Dengan belajar kelompok diharapkan adanya keuntungan kognitif dan keuntungan sosial, karena siswa mengklasifikasi-kan pemahamannya sendiri dan saling bertukar pendapat satu sama lain ketika mereka berinteraksi dalam kelompok belajar.[6]
Belajar kelompok berbeda dengan pembelajaran secara
bersaing, dimana para siswa diminta berusaha untuk menunjukkan kelebihannya dari yang lain dan untuk mencapai tujuan belajar, hanya beberapa siswa saja yang mampu mencapainya. Pembelajaran secara individu, dimana siswa bekerja sendiri untuk menyelesaikan tujuan belajarnya tanpa bantuan siswa lain. Sementara dalam situasi belajar kelompok ada unsur ketergantungan yang positif diantara pencapaian tujuan belajar.
Dalam metode belajar kelompok perlu adanya rasa tanggung jawab individual terhadap penguasaan materi pelajaran. Hal ini perlu untuk memaksimalkan belajar akan situasi belajar kerjasama. Secara tipical, para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok yang heterogen selama kegiatan belajar, siswa berperan sebagai sumber belajar antara siswa satu dengan siswa yang lainnya, berbagi dan mengumpulkan informasi, saling membantu untuk kemajuan anggota kelompoknya. Menurut pandangan Slavin, ciri khusus yang membangun dari belajar kelompok adalah metode ini memberikan ide bahwa siswa bekerja sama untuk belajar dan bertanggung jawab atas pelajaran anggota kelompok lain sebagaimana terhadap diri mereka sendiri.[7]

Filosofi yang Mendasari Belajar Kelompok
Pandangan konstruktivisme yang melandasi belajar kelompok menjelaskan bagaimana seseorang dapat belajar. Menurut pendekatan ini, belajar merupakan suatu proses pemahaman informasi baru berrupa penyusunan pengetahuan, konsep-konsep yang terus menerus melalui interpretasi pengalaman-pengalaman konkrit dengan membangun/mengkontruksi berdasarkan pengetahuan sebelum-nya. Perkembangan konseptual terjadi melalui aktivitas kolaboratif yaitu adanya pertukaran pendapat orang lain, refleksi dan perubahan pemahaman sebagai hasil pertukaran pendapat dengan orang lain. Agar mempunyai makna, maka belajar harus terjadi dalam latar yang realistik, kearah pemecahan masalah aktual yang dihadapi oleh pebelajar dalam kehidupan sehari-hari. [8]
Degeng dan Suhardjono (dalam Susilo) mengemukakan lima buah pre-posisi menurut pendekatan kontruktivistik yaitu:
1. Belajar adalah proses pemaknaan informasi baru. belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Dari sini akan munculnya berpikir divergen, berbagai jenis luapan pikiran/aktivitas, seperti simulasi, debat, dan pemberian penjelasan kepada teman.
2. Kontruktivistik berangkat dari pengakuan bahwa orang yang belajar harus bebas. Hanya di alam yang penuh kebebasan si pebelajar dapat mengungkap-kan makna yang berbeda dari hasil interpretasinya terhadap segala sesuatu yang ada di dunia nyata. Kebebasan menjadi unsur yang esensial dalam lingkungan belajar.
3. Strategi yang dipakai siswa dalam belajar akan menentukan proses dan hasil belajarnya. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menerapkan cara berpikir dan belajar yang sesuai dengan dirinya.
4. Motivasi dan usaha mempengaruhi belajar dan untuk kerja. Hal ini dilakukan dengan cara memotivasi siswa pada tugas-tugas dengan pengalaman pribadinya.
5. Belajar pada dasarnya memiliki aspek sosial. Kerja kelompok sangat berharga, yaitu dengan memberikan kesempatan untuk kerja kelompok, menggabungkan kelompok-kelompok yang heterogen, dan memperhitungkan proses serta hasil kelompok.[9]
Dari beberapa proposisi di atas, tampak bahwa belajar memiliki dimensi sosial. Dimana manusia memiliki sebuah kultur yang menggunakan bahasa sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya. Dengan mengerti bahasa dan kultur, maka memung-kinkan seseorang untuk memahami pengalaman berikutnya sesuai dengan konvensi dalam kultur tersebut.
Tanggung jawab untuk belajar dan memahami apa yang terjadi terletak pada pebelajar sendiri. Akan tetapi pebelajar perlu waktu untuk mengalami, merefleksikan pengalaman dikaitkan dengan pengetahuan awal mereka, dan menyelesaikan beberapa masalah yang muncul. Hal ini berarti bahwa pebelajar memerlukan waktu untuk mengklarifikasi, mengelaborasi, mendiskripsikan, membandingkan, menegosiasikan, dan mencapai konsensus mengenai arti suatu pengalaman bagi dirinya. Semua proses ini melibatkan bahasa, dan suara, yang merupakan inti perorangan yang dapat disumbangkan melalui diskusi dengan orang lain. Jika seseorang terlibat dalam diskusi, maka akan terjadi interaksi, memperjelas pengertian, dan berlakunya penjelasan orang lain. Seseorang juga perlu mendengarkan pendapat orang lain dan menentukan apakah setuju atau tidak. Pemecahan perbedaan-perbedaan tersebut dapat dicapai dalam suatu konsensus kelompok.
Dengan demikian, dalam pembelajaran kelompok terdapat peluang untuk mengklarifikasi, mengelaborasi, mendeskripsikan, membandingkan dan menegosiasikan pengertian yang telah dikontruksi dalam pikirannya untuk memperoleh konsensus tentang berlaku tidaknya pengertian tersebut. Sehingga dapat disinyatakan bahwa pembelajaran kelompok menekankan suatu diskusi yang merupakan wahana untuk terjadinya konsensus kelompok tentang materi yang ditugaskan guru.


Unsur Penting dalam Belajar Kelompok
Model belajar kelompok dibangun dari lima elemen yang didasarkan pada teori Morton Deutsch, yaitu:
1. Keadaan saling tergantung secara positif: Keberhasilan individu tergantung pada keberhasilan kelompok. Hal ini dapat dicapai melalui tujuan mutual: saling ketergantungan tugas, membagi materi pelajaran, sumber, atau informasi antar anggota kelompok, saling ketergantungan peran. Agar sirtuasi pembelajaran bisa cooperative, maka siswa harus mempersiapkan dirinya saling tergantung secara positif dengan anggota kelompok belajar bersama yang lain, dimana siswa harus yakin bahwa hubungan antara siswa yang satu dengan yang lain akan membantu siswa yang kurang sukses menjadi lebih sukses.
2. Interaksi tatap muka: Para siswa perlu berinteraksi secara fisik maupun pertukaran verbal diantara siswa yang didorong oleh ketergantungan positif untuk memaksimalkan keuntungan-keuntungan belajar kelompok. Mengharus-kan siswa untuk berbicara satu sama lain, saling membantu dalam mengerjakan tugas yang sulit, mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada, dan mem-berikan ide-ide baru.
3. Adanya tanggung jawab individu: adalah rasa tanggung jawab siswa, dimana masing-masing siswa harus memiliki rasa tanggung jawab akan prestasi mereka baik secara individu maupun kelompok. Semua anggota kelompok dituntut untuk belajar dan berusaha secara sungguh-sungguh menguasai materi yang diberikan. Karena keberhasilan setiap individu adalah keberhasilan kelompoknya, maka usaha yang dilakukan masing-masing anggota kelompok merupakan perwujudan rasa tanggung jawab individu terhadap kelompoknya. Tanggung jawab tersebut dapat difokuskan pada aktivitas saling memberikan bantuan satu sama lain dalam kelompok dan menyakinkan temannya untuk siap menghadapi tes perorangan. Beberapa peneliti sepakat bahwa tanggung jawab individu sangat penting jika diharapkan belajar kelompok akan mening-katkan prestasi akademik siswa (Slavin, dalam Watson).[10]
4. Perlu adanya ketrampilan sosial secara efekti dalam kelompok: dalam hal ini siswa harus mengajar temannya yang lain dan menggunakan ketrampilan kelompok yang tepat sebagai bagian dari proses belajarnya.
5. Pemrosesan kelompok: adalah cara kelompok dalam mencapai prestasi, di-mana kelompok-kelompok siswa memonitor secara reguler apa yang mereka selesaikan dan bagaimana anggota kelompok serta individu dapat berfungsi lebih efektif (saling memantau kemajuan individu dan kelompok).

Langkah-langkah dalam Merancang Belajar Kelompok
Apa yang harus diketahui para guru untuk dapat memanfaatkan belajar kelompok secara efektif. Disini terdapat perbedaan penting antara menempatkan siswa kedalam kelompok untuk belajar dan dalam menyusun saling ketergantung-an kerjasama antar siswa. Kerjasama disini bukanlah menyuruh siswa menyelesai-kan tugas-tugas dengan intruksi bahwa yang selesai terlebih dahulu harus mem-bantu siswa lainnya yang belum selesai. Atau menyuruh siswa menyelsaikan semua pekerjaan sendirian sementara yang lain hanya menitipkan nama saja.
Kerjasama kelompok yang dimaksudkan lebih dari sekedar berdekatan secara fisik dengan siswa yang lain, membahas materi pelajaran dengan siswa lain, membantu atau mengerjakan tugas-tugas bersama siswa lain, meskipun semua itu penting dalam belajar kelompok. Pada dasarnya inti dari pembelajaran secara kelompok adalah saling ketergantungan positif. Disamping itu situasi pembelajar-an secara kelompok diwarnai oleh tanggung jawag individu, dimana setiap siswa bertanggung jawab dalam mempelajari materi yang diberikan dan membantu anggota kelompok lain untuk belajar, adanya interaksi dua arah antara siswa dan dapat menggunakan ketrampilan interpersonal dan ketrampilan kelompok dengan tepat.
Namun dalam merancang situasi pembelajaran secara kelompok, peran guru tidak hanya menciptakan kerjasama antar siswa, peran guru meliputi langkah-langkah berikut ini.[11]
1. Menentukan Tujuan Pengajaran
Ada dua jenis tujuan yang harus ditentukan oleh guru, yaitu tujuan akademik dan tujuan skil kerjasama. Tujuan akademik harus ditentukan dengan tingkat yang tepat untuk siswa dan menyesuaikan
dengan tingkat pengajaran yang benar menurut analisis konseptual. Tujuan akademik meliputi tujuan intruk-sional umum dan tujuan intruksional khusus. Tujuan keterampilan kerjasama yaitu menjelaskan dengan detil keterampilan apa yang akan ditekankan selama proses pembelajaran berlangsung. Dalam penyusunan tujuan keterampilam dapat dirumuskan secara umum untuk semua materi pelajaran atau khusus untuk pelajaran tertentu, seperti keterampilan laboratorium, keterampilan berdiskusi, dan sebagainya.

2. Menentukan Ukuran Kelompok
Guru juga harus menentukan ukuran kelompok yang tepat. Kelompok pembelajaran secara kelompok biasanya terdiri dari 2 sampai 6 orang, lebih dari 6 orang akan terlalu besar. Sebaiknya harus cukup kecil untuk dapat berdiskusi bersama serta untuk mencapai tujuan kelompok. Bahkan sebagian siswa mungkin tidak siap untuk dimasukkan dalam kelompok yang terlalu besar.
a. Pengelompokan Siswa
Sebaiknya siswa dikelompokkan secara heterogen yang memiliki kemam-puan tinggi, sedang, dan rendah dalam kelompok yang sama. Mereka harus ditempatkan dalam suatu kelompok yang berorientasi pada tugas. Anggota kelompok sebaiknya dipilih sendiri oleh guru, hal ini untuk menghindari terjadinya anggota kelompok yang homogen. Sebaiknya anggota kelompok ini bertahan untuk jangka waktu yang cukup lama bahkan untuk satu semester.
b. Menentukan Posisi Kelompok (Ruang)
Bagaiamana cara guru menentukan posisi kelompok dalam kelas akan mencerminkan simbolis tentang bagaimana perilaku yang tepat, dan akan mempermudah kelompok belajar di kelas. Anggota kelompok harus cukup dekat satu sama lain, sehingga dapat berkomunikasi dengan efektif tanpa mengganggu anggota kelompok yang lain.
Dalam mengatur posisi kelompok, sebaiknya guru harus bisa kontak mata dengan semua anggota kelompok.
3. Merencanakan Materi Pelajaran untuk Mewujudkan Saling Ketergantungan
Ada tiga cara menciptakan materi untuk kelompok siswa yaitu:
a. Ketergantungan materi: yaitu dengan memberikan salinan materi kepada tiap kelompok. Kemudian para siswa harus bekerja bersama, dan diharap-kan pada akhirnya siswa dapat memiliki sendiri materi tersebut.
b. Saling ketergantungan informasi: Anggota kelompok yang memiliki buku atau sumber materi yang berbeda dapat digabungkan. Atau materi dapat disusun seperti teka-teki silang sehingga setiap siswa memiliki bagian materi yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas, dan setiap anggota kelompok harus berpartisipasi.
c. Saling Ketergantungan dengan anggota kelompok yang lain: Materi dapat juga dirancang menjadi format seperti turnamen dengan persaingan antar kelompok sebagai dasar untuk mewujudkan suatu persepsi saling keter-gantungan diantara kelompok (yang dikembangkan oleh Slavin).[12]
Semua prosedur ini tidak perlu diterapkan secara bersamaan, hal ini dimaksud-kan sebagai metode alternatif untuk menciptakan agar siswa dapat memper-sepsikan bahwa mereka harus berkerjasama dan memiliki perilaku secara bersama untuk mencapai tujuan pembelajaran
4. Menentukan peran untuk memastikan saling ketergantungan kerjasama. Hal ini dapat dirancang melalui penentuan peran-peran saling terkait dan saling melengkapi bagi setiap anggota kelompok. Fungsi penentuan peran merupakan suatu metode yang efektif dalam mengerjakan keterampilan-keterampilan kerjasama kelompok.
5. Menjelaskan tugas akademik:
a. Dalam hal ini guru perlu memikirkan tugas akademik yang diberikan kepada siswa dengan jelas dan spesifik untuk menghindari frustasi siswa.
b. Menjelaskan tujuan pembelajaran dan menghubungkan konsep-konsep dan informasi yang harus dipelajari dengan pengalaman dan pembelajaran masa lalu untuk memastikan ttransfer maksimum. Sehingga siswa dapat menfokus-kan konsep-konsep relevan dan informasi pada pelajaran.
c. Menentukan konsep-konsep relevan, menjelaskan prosedur-prosedur yang harus diikuti, dan memberi contoh-contoh untuk membantu siswa memahami apa yang harus dipelajari dan apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.
d. Memberikan pertanyaan-pertanyaan spesifik untuk mengecek pemahaman siswa terhadap tugas.
6. Merancang saling ketergantungan positip
Bahwa siswa memiliki tujuan kelompok dan harus bekerja bersama. Mereka harus mengerti bahwa mereka bertanggung jawab untuk mempelajari materi yang diberikan, dan memastikan bahwa semua anggota kelompok yang lain juga mempelajari materi tersebut. Dalam hal ini guru dapat melakukan dengan beberapa cara :
a. Meminta kelompok untuk menghasilkan suatu produk, laporan, atau makalah.
b. Memberi imbalan kelompok (nilai kelompok).
7. Menyusun keadaan individu untuk dipertanggung jawabkan, dan kerjasama dalam kelompok. Pada tahap ini guru memberikan tes individu (perorangan), tes ini diberikan kepada setiap individu untuk masing-masing kelompok, dimana hasil tes individu ini akan menjadi skor kelompok yang bersangkutan. Tes individu diberikan secara acak untuk tiap-tiap kelompok. Untuk kelompok yang memperoleh skor tertinggi akan mendapatkan hadiah atau penghargaan sesuai dengan ketetapan bersama, sementara untuk kelompok dengan skor rendah akan diberikan dorongan untuk memperoleh nilai yang lebih baik pada sub bahasan berikutnya. Dengan adanya tes ini diharapkan setiap siswa dapat memberikan sumbangan skor kepada kelompoknya.
8. Menjelaskan kriteria keberhasilan suatu kelompok, keberhasilan suatu kelompok ditentukan oleh skor-skor yang diperoleh secara individu dan secara kelompok. Keberhasilan suatu kelompok juga ditentukan pada aktivitas kerjasama yang dilakukan siswa dalam kelompoknya berupa ketrampilan-ketrampilan sosial.
9. Memberikan bantuan untuk menyelesaikan tugas, dan turut serta mengarah keterampilan kerjasama siswa. Dalam hal ini guru dapat memberikan pengarahan kepada siswa dalam menyelesaikan soal-soal yang diberikan guru, siswa juga dapat meminta bantuan kepada guru untuk menjelaskan permasalahan yang di-hadapinya dalam kelompok. Guru juga dapat memberi-kan pengayaan konsep dengan maksud untuk mengetahui seberapa jauh konsep yang telah diterima siswa. Pada pengayaan konsep, guru memberikan sejumlah soal yang lebih komplek, soal tersebut akan diselesaikan siswa secara bersama dalam kelompoknya, yang kemudian akan didiskusikan dengan kelompok lain untuk mencapai suatu kesepakatan.
10. Guru harus mengawasi tingkah laku anggota kelompok, dengan pola observasi formal untuk mengidentifikasi masalah siswa. Maksud dari observasi adalah untuk mengetahui sejauh mana kerjasama yang dilakukan siswa dalam kelompoknya, berupa ketrampilan sosial sebagai bagian dari proses belajarnya. Guru juga harus memperhatikan bagaimana keadaan siswa dalam berdiskusi, dalam berbicara, mendengarkan pendapat anggota kelompok lain dan lain-lain yang menyangkut keterampilan sosial. Siswa juga harus memonitor secara reguler apa yang mereka selesaikan dan bagaimana anggota kelompok serta individu dapat berfungsi lebih efektif (saling memantau kemajuan individu dan kelompok), ini dimaksudkan sebagai cara kelompok untuk mencapai prestasi yang lebih baik.
11. Menentukan kelompok terbaik: Kelompok terbaik dilakukan setelah semua materi pelajaran diselesaikan, skor kelompok merupakan jumlah rata-rata total skor individu untuk tiap-tiap kelompok untuk setiap tes yang dilakukan.
12. Menutup pelajaran
13. Mengevaluasi kualitan dan kuantitas belajar siswa, baik berupa tes prestasi maupun keterampilan siswanya. Evaluasi yang dilakukan guru berupa hasil yang dicapai siswa berupa prestasi akademik dan nonakademik, untuk prestasi akademik dengan menggunakan tes prestasi siswa pada pokok bahasan secara keseluruhan. Sedangkan untuk nonakademik dapat dilakukan dengan menggunakan sistem pengamatan (ceklis) pada saat siswa melakku-kan kegiatan pembelajaran dengan pementauan langsung oleh guru.
14. Evaluasi terhadap efektifitas belajar kelompok: Eveluasi efektifitas belajar kelompok dapat dilakukan secara keseluruhan dari hasil prestasi akademik siswa dan dari hasil keterampilan nonakademik siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung.

Beberapa Model Belajar Kelompok
Belajar kelompok meliputi banyak strategi (bentuk) yang dikembangkan oleh para ahli penelitian pendidikan, dan telah diterapkan pada berbagai macam materi pendidikan. Kesemua model belajar kelompok yang dikembangkan pada dasarnya memiliki aturan yang sama untuk setiap model, hanya saja berbeda dari segi (teknik) pemberian materi pelajaran, atau cara kelompok menyelesaikan tugas. Namun untuk aturan-aturan yang ada dalam belajar kelompok dapat diterapkan untuk semua model. Beberapa model belajar kelompok antara lain yaitu:

1. Model STAD
STAD (Student Teams-Achievement Divisions) merupakan salah satu metode pembelajaran kelompok yang paling awal ditemukan dan sangat populer dikalangan para ahli pendidikan di Jhons Hopkins University, dan telah banyak diterapkan sebagai suatu metode pembelajaran kelompok, dan juga sebagai suatu metode yang sangat mudah untuk diterapkan. Dalam metode STAD siswa dipasangkan secara merata yang memiliki kemampuan tinggi dan rendah dalam satu kelompok sebanyak 4 s/d 5 orang, skor kelompok diberikan berdasarkan atas prestasi anggota kelompoknya.[13] Ciri-ciri yang penting dalam STAD adalah bahwa siswa dihargai atas prestasi kelompok dan juga semangat kelompok untuk bekerjasama.
Dalam metode STAD 5 komponen utama yang harus diterapkan adalah sebagai berikut:
(1) Kelompok: Dalam metode STAD siswa dipasangkan/disusun dalam kelompok secara merata/heterogen yang memiliki kemampuan tinggi dan rendah dalam satu kelompok sebanyak 4 s/d 5 orang. Hal ini dimaksudkan untuk saling meyakinkan bahwa semua anggota kelompok dapat bekerja sama dalam belajar untuk mencapai tujuan akademik yang diharapkan. Untuk menentukan anggota suatu kelompok, terlebih dahulu siswa disusun berdasarkan rangking nilai raport kelas sebelumnya atau berdasarkan hasil pretes. Selanjutnya dari daftar itu pengelompokan dilakukan. Dalam pengelompokan, guru perlu memperhati-kan agar jangan sampai terjadi pertentangan yang sangat tinggi antar anggota kelompok satu dengan kelompok lain.
(2) Penyajian Kelas: Pengajaran yang diberikan guru di depan kelas adalah secara klasikal dan tidak begitu berbeda dengan pengajaran yang secara tradisional, hanya saja terfokus pada materi yang dibahas saja. Setelah materi disajikan guru, kemudian siswa bekerja dalam kelompoknya untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan.
(3) Tes/Quis: Setelah siswa menerima pengajaran dari guru, 1 atau 2 kali penyajian dan bekerja dalam kelompoknya, selanjutnya siswa diberikan tes perorangan. Dalam hal ini masing-masing siswa berusaha dan bertanggung jawab secara individu untuk melakukan yang terbaik sebagai hasil bagi kesuksesan kelompok-nya.
(4) Skor Peningkatan Individu: Peningkatan skor individu dapat berupa skor awal dan skor tes individu. Skor awal dapat berupa nilai raport siswa atau pretes yang diberikan pada saat sebelum pelaksanaan pengajaran diberikan. Setelah pemberi-an tes/quis, skor tersebut juga akan menjadi skor awal untuk selanjutnya bagi perhitungan peningkatan individu. Skor peningkatan individu merupakan suatu kesepakatan antara guru dengan siswa sebelumnya. Untuk skor kelompok merupakan jumlah dari masing-masing skor anggota kelompok, sehingga setiap siswa bertanggung jawab terhadap skor anggota kelompoknya. Dari skor kelompok inilah dapat ditentukan kelompok-kelompok yang memperoleh nilai terbaik dan berhak atas hadiah atau penghargaan yang dijanjikan.
(5) Pengakuan Kelompok: Pemberian hadiah adalah sebagai penghargaan atas usaha yang telah dilakukan oleh kelompok selama belajar. Hadiah yang diberikan ber-dasarkan kriteria yang telah disepakati bersama.
Dalam model STAD unsur yang penting adalah bagaimana memotivasi siswa dalam kelompok agar mereka dapat saling membantu satu sama lain dalam menguasai materi pelajaran yang disajikan, serta menumbuhkan kesadaran bahwa belajar itu penting dan menyenangkan.

2. Model Jigsaw
Pada model belajar kelompok ini, pada prinsipnya sama dengan model STAD, hanya saja berbeda pada tugas yang diberikan dan sistem pengajaran yang dilakukan. Pada model jigsaw setiap kelompok diberikan tugas yang berbeda untuk setiap kelompok, dengan tema/sub bahasan yang berbeda. Misalnya, untuk mengerjakan topik kimia “Termokimia”, guru membagi topik utama menjadi beberapa subtopik yaitu: a) azas kekekalan energi, b) kalor reaksi, c) hukum Hess dan energi ikatan, dan d) perubahan spontan (faktor entalpi, entropi, dan energi bebas). Setiap kelompok bertanggungjawab terhadap penguasaan setiap komponen/sub topik yang ditugaskan guru dengan sebaik-baiknya. Setiap kelompok akan mempresentasi-kan tugas yang diberikan dan akan terjadi semacam diskusi kelompok. Setiap anggota kelompok harus menguasai isi keseluruhan materi yang akan dibahas. Sehingga seluruh siswa bertanggung jawab untuk menunjukkan penguasaannya terhadap seluruh materi yang ditugaskan guru. Dengan demikian, setiap kelompok harus menguasai topik Termokimia secara keseluruhan. Tes yang diberikan merupakan isi materi keseluruhan, sehingga setiak kelompok harus menguasai materi seluruh materi tersebut.[14]

3. Model TAI
TAI (Team Accelerated Intruction) merupakan metode pembelajaran yang mengkombinasikan belajar kelompok dengan belajar secara individu. Dalam model ini, siswa dalam kelompok akan memperoleh soal yang berbeda untuk setiap individu yang diselesaikan dalam kelompoknya secara sendiri-sendiri terlebih dahulu, kemudian mendiskusikan dengan anggota kelompok lain hasil kerjaannya. Siswa yang dapat menyelesaikan soal tersebut dapat melanjutkan pada tahap berikutnya. Sementara siswa yang masih mengalami kesulitan akan tetap harus menyelesaikan soal lainnya pada tahap berikut berdasarkan tingkat kesukaran soal yang setara dengan soal pertama diberikan.

4. Model TGT
TGT (Teams Games Tournamen). Model ini menekankan pada persaingan suatu anggota kelompok dengan anggota kelompok lainnya melalui suatu turnamen/ lomba sesuai dengan tingkat kemampuannya. Penilaian kelompok diberikan ber-dasarkan skor tiap anggota kelompok yang diperoleh selama perlombaan.

Penutup
Di bawah ini akan diuraikan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan yang memperlihatkan pengaruh dari pada penerapan belajar kelompok terhadap siswa, baik kelebihan dan kekurangan belajar kelompok.
Banyak hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli pendidikan tentang kelebihan/keunggulan metode belajar kelompok, baik terhadap aspek akademik dan non-akademik siswa. Berbagai keuntungan yang dapat diharapkan dari penggunaan metode belajar kelompok antara lain, mampu meningkatkan prestasi akademik, meningkatkan aktivitas dan kreativitas siswa, siswa lebih termotivasi secara intrinsik dan ekstrinsik, mempunyai self-esteem lebih baik dan secara personal lebih terampil serta mempunyai apresiasi yang lebih tinggi terhadap materi yang dipelajarinya. Belajar kelompok juga sangat efektif untuk meningkatkan pencapaian konsep, dan pemacahan masalah dari pada hanya untuk menghafalkan materi tanpa berpikir atau menyelesaikan soal-soal.
Belajar kelompok dapat menyebabkan unsur-unsur psikologis siswa menjadi terangsang, dan menjadi lebih aktif, hal ini disebabkan oleh adanya rasa kebersamaan dalam kelompok, sehingga mereka dengan mudah dapat berkomuni-kasi dengan bahasa lebih sederhana. Pada saat berdiskusi fungsi ingatan dari siswa menjadi lebih aktif, lebih bersemangat, dan berani mengemukakan pendapat. Belajar kelompok juga dapat meningkatkan kerja keras siswa, lebih giat dan lebih termotivasi. Bourne lebih lanjut menjelaskan bahwa belajar kelompok dapat membantu siswa mengaktifkan pengetahuan latar mereka dan belajar dari pengetahuan latar teman sekelas mereka, mereka dilibatkan secara aktif dalam belajar, dan meningkatkan perhatian.[15]
Belajar kelompoki juga bertujuan untuk meningkatkan prestasi kelas melalui sharing kawan yang berkemampuan, memecahkan masalah bersama, menanamkan tanggung jawab bersama, mengembangkan kehidupan sosial siswa. Aktivitas belajar siswa dipacu melalui kelompok kecil, agar dapat mengembangkan keterampilan sosial, keterampilan baru, dan meningkatkan belajar dengan bantuan teman sebaya.
Motivasi yang dibangkitkan melalui belajar kelompok berupa motivasi ekstrinsik yaitu motivasi soasial, dan motivasi insrumental, dan motivasi untuk berprestasi, sedangkan motivasi intrinsik merupakan kesadaran siswa itu sendiri untuk belajar. Meskipun dalam kesadaran itu muncul dari diri sendiri, akan tetapi dalam pembentukannya orang lain juga memegang peranan penting, seperti guru atau teman sebaya yang berkemampuan.
Keuntungan yang paling besar dari pada penerapan metode belajar kelompok terlihat ketika siswa menerapkannya dalam menyelesaikan tugas-tugas yang kompleks. Keuntungan belajar kelompok juga dapat meningkatkan kecakapan individu maupun kelompok dalam memecahkan masalah, meningkatkan komitmen dan dapat menghilangkan prasangka buruk terhadap teman sebayanya. Siswa yang berpartisipasi dalam belajar kelompok ternyata lebih mementingkan orang lain, tidak bersikap kompetitif, dan tidak memiliki ras dendam.[16]
Metode belajar kelompok juga dapat menimbulkan motivasi sosial siswa karena adanya tuntutan untuk menyelesaikan tugas. Seperti diketahui bahwa manusia adalah makhluk sosial, sehingga salah satu kebutuhan yang menyebabkan seseorang mempunyai motivasi untuk mengaktualisasikan dirinya adalah kebutuhan untuk diterima dalam suatu masyarakat atau kelompok. Demikian juga dengan siswa, mereka akan berusaha untuk mengaktualisasikan dirinya, misalnya melakukan kerja keras yang hasilnya dapat memberikan sumbangan bagi kelompoknya. Hasil penelitian Kleinment dan Griffin menjelaskan bahwa belajar kelompok dapat meningkatkan keterampilan sosial siswa, yaitu akan terjalin hubungan antar suku, ras yang bertambah baik dan dapat meminimalkan rasa kurang percaya diri siswa. Adanya keuntungan yang positif terhadap penghargaan diri sendiri, sikap siswa yang baik terhadap kerja di laboratorium.[17]
Piaget dan Vygostsky (dalam Crain) menjelaskan bahwa pengetahuan yang diperoleh siswa sebenarnya adalah hasil interaksi siswa dengan ingkungannya. Guru memberikan kesempatan kepada
siswa untuk berinteraksi dengan teman sebayanya sebagai suatu proses pendelegasian wewenang yang dibutuhkan siswa sebagai bentuk ketergantungan antara anggota kelompok..[18]
Sementara salah satu kekurangan dari metode belajar kelompok bahwa kontribusi dari siswa berprestasi rendah menjadi kurang, dan siswa yang memiliki prestasi tinggi akan mengarah pada kekecewaan, hal ini disebabkan oleh peran anggota kelompok yang pandai yang lebih dominan. (Slavin, dalam Watson). Beberapa peneliti yang telah dilakukan oleh para ahli pendidikan ditemukan bahwa siswa yang berkemampuan tinggi merasakan kekecewaan ketika mereka harus membantu temannya yang berkemampuan rendah.[19] Jonhson, mengatakan bahwa efek yang harus dihindari dalam belajar kelompok adalah hubungan gep antar kelompok yang memiliki nilai lebih tinggi dengan kelompok yang memiliki nilai rendah.
Dampak negatif lain dari belajar kelompok adalah keberhasilan belajar kelompok sangat ditentukan oleh kemampuan siswa untuk bekerjasama dalam kelompoknya. Disegi lain, untuk menyelesaikan suatu materi pelajaran dengan metode belajar kelompok mungkin akan memakan waktu yang relatif lebih lama dibandingkan dengan metode konvensional, bahkan dapat menyebabkan materi tidak dapat diselesaikan sesuai dengan kurikulum yang ada apabila guru belum berpengalaman.

* Dra. Siti Rosmawar Is merupakan Dosen Tetap Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh

Endnotes


[1] Joice, B. dan Weil, M. (1980). Models of Teaching. Prentice-Hall, Inc; Englewood Cliffs, New Jersey.

[2] Reigeluth, C.M. 1983. Strctional DesignTheorist and Models: An Overview of Their Current Status. Hillsdale, N.J: Lawrence Erlbaum Associates, 3-36.

[3] Sastrawijaya, T. (1988). Proses Belajar Mengajar di Perguruan Tinggi. Depdikbud: Jakarta.

[4] Syukri, S. 1985. Studi Perbandingan Efektifitas Pengajaran dengan Strategi Induktif dan Pengajaran dengan Strategi Deduktif dalam Bidang Studi Kimia di SMA Negeri 54 Jakarta. Tesis FPS - IKIP Jakarta. Tidak dipublikasikian.

[5] Klousmeier, H., Ghatala, E., dan Frayer, D. (1974). Conseptual Learning and Develop-ment: A Cognitive View. Academic Press. New York.

[6] Eggen, Paul D., Kauchak D. P., Harder, J.L., (1979). Strategies for Teachers. Information Procesing Models in The Classroom. Prentice-Hall. Inc., Englewood. Cliffs. New Jersey

[7] Jhonson, D.W. dan Jhonson, R.T. 1984. Circles of Learning. Cooperative in the Classroom. University of Minnesota. New Jersey: EngLewood Cliffs.

[8] Dimyati dan Mudjiono. 1994. Belajar dan Pembelajaran. Dirjen DIKTI. Jakarta: Depdikbud.

[9] Susilo, Herawati. 1997. Implementasi Pendekatan Konstruktivistik dalam Pembelajaran Sains. Jurnal Pendidikan Metematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Tahun 26(2), Juli. Hal. 215 – 229.

[10] Weston, S.B. dan Marshall, J.E. 1991. Effects of Cooperative, Incentive and Heterogeneous Arrangement on Achievement and Interaction of Cooperative Learning Group in A Callege Life Science Course. Journal of Research in Science Teaching. Vol. 32(3). Pp. 291-299.

[11] Jhonson, D.W. dan Jhonson, R.T. 1987. Learning. Together and Alone: Cooperative, Competitive, and Individualistik Learning. New Jersey: Prentice-Hall.

[12] Ibid. Hal. 276

[13] Jacobsen, D. Eggen. P. dan Kauchak D. 1979. Methods for Teaching, A Skills Approach. Third Edition. Merril Publishing Company. Colombus Toronto London Melbourne.

[14] Ibid. Hal. 239.

[15] Bourne, L.b., Ekstrand,B., dan Dominowsky,R. 1971. The Psychology of thinking. Englewood Clifft, N.J: Prentice-Hall, Inc.

[16] Osborne, R.J. dan Wittrock, K.M. 1985. Learning Science a Generative Process Science Education. 67 (43): 489 - 583.

[17] Kleinment, R.W., Griffin, H.C. dan Kerner, K.N., (1987). Images In Chemistry. Jounal of Chemicel Education. 64(9). p. 766 - 769.

[18] Crain, William. 1992. Theories of Development: Concepts and Aplications (3 rd ed). New Jersey: Prentice-Hall.

[19] Weston, S.B. dan Marshall, J.E. 1991. Effects of Cooperative, Incentive and Heterogeneous Arrangement on Achievement and Interaction of Cooperative Learning Group in A Callege Life Science Course. Journal of Research in Science Teaching. Vol. 32(3). Pp. 291-299.

0 komentar:


Blogspot Template by Isnaini Dot Com