Senin, Februari 18, 2008

METODOLOGI PEMBELAJARAN LINGUISTIK


Oleh : Tri Qurnati*

Abstrak: Seorang tenaga pengajar bahasa dituntut untuk mengetahui epistemologi pendidikan bahasa, metodenya, tujuannya, agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Pendidikan bahasa bergerak dari pandangan filsafat tentang bahasa itu. Filsafat strukturalis, fungsional dan interaksional merupakan filsafat yang ikut andil dalam pendidikan bahasa. Dari pendekatan yang dipilih guru yang bersumber dari pandangan filsafat tersebut, guru dapat memilih metode yang akan digunakan dengan mempertimbangkan beberapa hal seperti tujuan pembelajaran, kemampuan guru, murid dan lain-lain.

Kata kunci: Metodologi, Pendidikan linguistik

A. PENDAHULUAN
Berbicara tentang pendidikan berarti berbicara mengenai manusia. Karena manusia merupakan topik sentral pendidikan. Manusia dengan segala potensi yang dimilikinya merupakan objek dari pekerjaan mendidik. Berbagai macam istilah digunakan untuk menyebut manusia. Di kalangan Arab ada yang menyebut manusia dengan mengunakan istilah حيوان ناطق yang secara harfiah diartikan dengan binatang yang mampu berbicara. Ada juga orang yang mengartikannya sebagai manusia yang mampu berfikir.
Melihat ungkapan kata “binatang” digunakan kepada manusia menunjukkan adanya pengaruh filsafat materialisme ( الفلسفة الما د ية ) yang memandang tabiat manusia dan hewan itu sama. Bahkan tabiat manusia bisa dianalisa berdasarkan tabiat hewan.[1] Tokoh aliran ini antara lain adalah Julian De Lamettrie dan Ludwig Feueurbach.[2] Selain itu, ungkapan tersebut mengisyaratkan adanya potensi kemampuan berbahasa dan kemampuan berfikir pada manusia. Di sinilah letak kelebihan manusia dari hewan dan makhluk lainnya.
Potensi bahasa yang ada pada manusia adalah sarana penuangan idenya. Dasar dari semua tindakan manusia adalah ide itu sendiri.[3] Dengan demikian, dapat diketahui betapa pentingnya bahasa, karena tanpa bahasa ide manusia sulit disosialisasikan. Potensi berbahasa merupakan karunia Allah kepada manusia guna dapat berkomunikasi sesamanya. Bagaimanapun, manusia itu merupakan makhluk sosial yang butuh kepada interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan syarat utama untuk terjadinya aktifitas-aktifitas sosial.[4] Sedangkan untuk dapat melakukan interaksi sosial manusia memerlukan bahasa.
Demikian pentingnya fungsi bahasa dalam kehidupan manusia, sehingga diperlukan usaha untuk menumbuhkembangkannya. Masalah pengembangan bahasa merupakan lahan dari metodologi pendidikan linguistik. Karena Fakultas Tarbiyah merupakan salah satu Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang menyiapkan tenaga pengajar, termasuk tenaga pengajar bahasa, maka hal ini perlu diperhatikan.
Tulisan ini membahas tentang “Metodologi Pendidikan Linguistik”. Yang dimaksud dengan metodologi adalah “ilmu mengenai metode”.[5] Sedangkan linguistik adalah “ilmu bahasa”.[6] Dari penjelasan istilah yang digunakan, dapat diketahui bahwa dalam tulisan ini memuat tentang ilmu mengenai metode pendidikan bahasa. Di sini dibahas tentang epistemologi pendidikan linguistik, pendekatan, metode yang digunakan dalam pembelajaran bahasa, dan sasaran yang ingin dicapai.

B. EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN BAHASA
Berbicara masalah epistemologi berarti berbicara tentang teori pengetahuan. Epistemologi ini merupakan bagian dari Filsafat Sistematis.[7] Dengan demikian, pada bagian ini diangkat tentang bagaimana pandangan teori pengetahuan terhadap bahasa. Tentu saja pembahasan ini terkait erat dengan filsafat.
Ada dua aliran baru filsafat yang membahas tentang bahasa, yaitu aliran Filsafat Analitis dan Strukturalis. Tokoh aliran Filsafat Analitis adalah Ludwig Yosef Johan Wittgenstein (1889-1951), yang lahir di Wina, Austria. Sedangkan tokoh Filsafat Strukturalis adalah Jacues Lacan yang lahir di Paris pada tahun 1901.[8]

1. Bahasa Menurut Filsafat Analitis
Pandangan Wittgenstein tentang bahasa terbagi dua. pandangan yang pertama, yaitu yang diungkapkan dalam priode sebelum tahun 1930. Sedangkan yang kedua adalah yang dituangkannya setelah tahun 1930.
Pemikiran Wittgenstein tentang bahasa sebelum 1930 menyatakan bahwa “Meaning is Ficture”. Maksudnya: bahasa baru berarti bila dia merupakan suatu diskripsi dari kenyataan. Bila dia bukan merupakan suatu “picture”, maka dia tidak mempunyai makna. Pernyataan yang disebutkan tadi adalah pertanyaannya terhadap bagaimana mungkin manusia mengatakan sesuatu yang dapat dimengerti oleh orang lain, sementara ia hanya memakai kata-kata dan kalimat. Dan itu cukup untuk meneruskan isi pemikirannya kepada orang lain. Jawaban pertanyaan inilah yang disebut pemikiran Wittgenstein I.
Dalam pandangan tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa titik tolak pengajaran bahasa berada pada usaha membuat manusia mampu menyusun atau menggunakan kata-kata dan kalimat-kalimat yang bermakna, sehingga pemikiran yang ada padanya dapat diteruskan dan dimengerti oleh orang lain.
Setelah tahun1993, pandangan Wittgenstein tentang bahasa berubah. Menurutnya sekarang: “Meaning is use”, maksudnya: arti suatu pernyataan tergantung pada jenis bahasa yang digunakan. Kalau sebelumnya ia berpendapat bahwa hanya bahasa deskripsi mempunyai makna, kini ia berpendapat bahwa banyak jenis pemakaian bahasa yang semua mempunyai kebenaran dan logika tersendiri. Suatu jenis bahasa tertentu yang terdiri dari kata-kata dan aturan pakainya (yaitu tata bahasa) dapat disebut language game. Arti kata-kata hanya bisa dipahami dalam kerangka acuan language game yang dipakai. Arti satu kata tertentu bisa berbeda-beda dan berubah-ubah, tergantung konteks pemakaiannya. Bahasa laboratorium, bahasa pasar, bahasa doa, bahasa cinta, bahasa olahraga, semuanya merupakan language game yang khas, dimana kata-kata pun mendapat arti yang khas.
Bahasa diibaratkan dengan sebuah kota tua. Bagian-bagian baru kota itu dibangun menurut suatu perencanaan yang jelas dan logis. Bagian baru itu adalah bahasa logika, matematika dan ilmu pengetahuan. Yang merupakan bagian-bagian tuanya adalah bahasa sehari-hari. Ia terdiri dari bermacam-macam unsur yang tidak teratur susunannya.[9]
Dari pemikiran Wittgenstein yang kedua dapat disimpulkan beberapa point berikut:
1) Bahasa terdiri dari kata-kata dan aturan pakainya (tata bahasa)
2) Bahasa dapat dibagi dua, yaitu:
a. bahasa sehari-hari yang susunan unsurnya kurang teratur
b. bahasa ilmu pengetahuan yang dibangun menurut suatu perencanaan yang jelas dan logis. Termasuk di dalamnya bahasa logika dan bahasa matematika.
3) Arti kata-kata berubah-ubah tergantung dimana digunakan (tergantung fungsinya menurut tata bahasa).
4) Arti suatu pernyataan tergantung pada jenis bahasa yang digunakan (meaning is use).
Wittgenstein menggunakan metode analisa bahasa untuk menyelidiki bahasa, terutama untuk untuk menyelidiki pemikiran manusia. Dari metode ini timbul ilmu tentang jenis bahasa, tata bahasa lengkap mengenai logical moods.

2. Bahasa Menurut Filsafat Strukturalis
Jacques lacan sebagai tokoh aliran ini menyelidiki kesejajaran antara struktur bahasa dan struktur jiwa. Dari penyelidikannya tersebut dia berkesimpulan bahwa kesalahan-kesalahan dalam pembentukan jiwa anak muda tampak dari kesalahan-kesalahan bahasanya.[10] Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ucapan/kalimat-kalimat seseorang merupakan pencerminan suasana jiwanya. Oleh sebab itu, melalui bahasa dapat diperkirakan hal yang tersimpan dalam jiwa seseorang.
Menurut pemikiran J.Lacan, bahasa terdiri dari sejumlah termin yang ditentukan oleh posisi-posisinya satu terhadap yang lainnya. Termin tersebut digabungkan dengan aturan gramatika dan sintaksis. Bahasa membuka suatu lapangan yang disistematisasikan dengan aturan-aturan. Menurut pendapatnya manusia baru menjadi pribadi bila ia mengabdikan diri pada aturan bahasa. Kalau orang tidak lagi mengabdikan diri pada aturan tersebut, ia tidak lagi bersifat pribadi. Contohnya: orang gila yang bicara dengan neologisme.[11]
Menurut Henry Guntur Tarigan setidaknya ada tiga pandangan berbeda mengenai bahasa dan hakikat kecakapan berbahasa, yaitu:
a. Pandangan struktural yang memandang bahasa addalah suatu system unsur yang berhubungan secara struktural bagi penyandian makna.
b. Pandangan fungsional. Menurut pandangan ini bahasa merupakan wahana bagi ekspresi makna fungsional.
c. Pandangan interaksional yang menyatakan bahasa adalah merupakan wahana bagi realisasi hubungan-hubungan antar pribadi dan bagi performasi transaksi-transaksi sosial di antara para individu.[12]
Berpijak pada pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pandangan Wittgenstein termasuk kepada pandangan fungsional, sedangkan pandangan J. Lacan dapat dikategorikan ke dalam pandangan struktural. Para pengajar atau pembelajar bahasa boleh saja mendukung salah satu pandangan tersebut, atau malah memikirkan ada lagi yang lebih tepat dalam rangka mengembangkan kemampuan berbahasa.
Pandangan Islam terhadap pendidikan bahasa antara lain dapat disimpulkan dari ayat Al Quran pada surat al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi sebagai berikut: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu ialah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Al Quran, 49:13)
Ayat tersebut di atas mengisyaratkan dorongan untuk mempelajari aneka ragam bahasa guna dapat berkomunikasi dan berinteraksi sosial. Dikaitkannya antara penciptaan manusia yang berlainan jenis, bangsa dan suku dengan dorongan untuk saling mengenal adalah isyarat untuk itu. Karena untuk saling kenal antara manusia, seperti mengenal masalah identitas lawan bicara, budayanya, dan lain-lain memerlukan adanya bahasa. Ayat tersebut secara tersirat juga mengandung pesan bahwa manusia telah dibekali dengan kemampuan berbahasa baik bahasa ibu, maupun bahasa asing.
Perkenalan antara dua manusia atau lebih yang berlainan suku atau bangsanya membutuhkan adanya penguasaan terhadap bahasa asing. Selain itu, ayat di atas menuntun umat Islam agar menggunakan landasan takwa sebagai landasan interaksi sosial diantara sesama umat manusia. Bila dirujuk kepada pendapat Henry Guntur Tarigan, maka ayat tersebut di atas mengarah kepada teori yang mengatakan bahasa adalah alat untuk berkomunikasi dan berinteraksi. Dengan demikian, ia termasuk ke dalam teori interaksional. Atau dengan kata lain, Islam sejalan juga dengan teori tersebut.
Ayat Al Quran selanjutnya yang berkaitan dengan pendidikan bahasa adalah ayat ketiga dan keempat pada surat al-Rahman yang berbunyi sebagai berikut:
Artinya: Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara (Al Quran, 55: 3-4).
Ayat ini menjelaskan bahwa manusia mempunyai potensi untuk berbicara dengan berbagai jenis bahasa. Kata “ البيان ” dalam ayat tersebut ditafsirkan dengan kemampuan berbicara, karena kata tersebut dikaitkan dengan pengajaran Al Quran .[13] Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semua manusia mempunyai potensi untuk mampu membaca dan melafalkan Bahasa Arab secara umum. Secara khusus, semua manusia mempunyai potensi untuk membaca Al Quran dan menguasai isi kandungannya.
Dalam ayat tersebut digunakan ungkapan " علّم" menunjukkan perlunya proses pembelajaran untuk mencapai kemampuan berbahasa/berbicara. Dalam pelaksanaan proses pembelajaran bahasa, sepantasnya semua peserta didik dan guru bahasa, baik bahasa nasional, bahasa ibu maupun bahasa asing, terutama bahasa Arab yang merupakan bahasa Al Quran,harus merasa optimis pembelajaran dapat mencapai hasil dengan berbekal spirit Al Quran. Karena semua manusia mempunyai potensi untuk menguasai bahasa, baik bahasa ibu, maupun bahasa asing lainnya, dan khususnya Bahasa Arab yang merupakan bahasa Al Quran.
Tujuan umum pembelajaran adalah timbulnya kemampuan penguasaan pengetahuan yang dipelajari, mampu menghayatinya, dan mampu mengamalkan sehingga terjadilah perubahan sikap pada peserta didik tersebut akibat pengetahuan baru yang telah diperolehnya. Oleh karena itu, dalam mempelajari bahasa semua kemampuan tersebut di atas harus dicapai.
Tentang cara pelaksanaan pembelajaran bahasa terpulang pada guru bahasa itu sendiri. Dia tentu harus mempertimbangkan beberapa hal sebelum memutuskan cara pelaksanaan pembelajaran. Diantara hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih metode pembelajaran adalah: tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, kemampuan sang pengajar, peserta didik, situasi dan kondisi pembelajarn, waktu yang tersedia, serta kelebihan maupun kelemahan setiap metoda yang digunakan.
Bahasa itu bukan hanya berbentuk lisan, tetapi juga berbentuk tulisan. Penjelasan tentang penggunaan bahasa tulisan di samping bahasa lisan dapat ditemui pada surat Al-‘Alaq ayat satu hingga ayat lima. Kelima ayat ini dapat dijadikan pedoman dalam pembelajaran bahasa lisan dan tulisan. Ayat tersebut adalah sebagai berikut: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, Tuhanmulah yang paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Al-Quran, 96: 1-5).
Ayat di atas membahas bahasa dari sisi lisan dan tulisan. Di sana dikaitkan bahasa tulis baca dengan perolehan ilmu pengetahuan. Pendidikan bahasa yang dapat dipetik dari ayat ini adalah: 1) Bahasa, baik yang berbentuk lisan maupun tulisan adalah alat untuk pengembangan ilmu pengetahuan; 2) Pengembangan pengetahuan harus didasarkan kepada pengabdian kepada Allah; 3) Pengembangan kemampuan bahasa tulisan dilaksanakan setelah bahasa lisan; 4) pembelajaran keterampilan membaca dilaksanakan dengan cara meniru dan mengulang-ulang.
Demikianlah penjelasan ringkas tentang epistemologi pendidikan bahasa yang memuat pemikiran Wittgenstein, P. Lacan, Henry Guntur Tarigan dan pandangan Islam. Berikut ini merupakan pembahasan tentang pendekatan pendidikan bahasa.

C. Pendekatan Pendidikan Bahasa
Pendekatan pendidikan bahasa bersumber dari epistemologinya. Dengan demikian, ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam pendidikan bahasa. Diantaranya adalah: pendekatan kognitif, pendekatan aural-oral (structural), pendekatan komunikatif, dan pendekatan ganda. Berikut ini penjelasan untuk masing-masing pendekatan tersebut.
1. Pendekatan Kognitif
Pendekatan ini diinterpretasikan oleh beberapa pakar sebagai “teori terjemah-tata bahasa yang mutakhir yang telah dimodifikasi”. Pendekatan ini menekankan pada pemerolehan bahasa secara sadar sebagai suatu sistem bermakna, didasarkan pada psikologi kognitif dan pada tata bahasa transformasi. Bila ditoleh kembali bagian epistemologi pada bagian sebelumnya, dapat dikatakan bahwa aliran analitis dan strukturalis melatarbelakangi pendekatan ini.
Ciri utama pendekatan ini adalah:
a) Tujuan utama adalah mengembangkan kemampuan penutur asli pada diri siswa;
b) Pengajaran bahasa harus bergerak dari yang sudah diketahui menuju yang belum diketahui;
c) Materi dan guru memperkenalkan para siswa pada pada situasi “pemakaian bahasa aktif”;
d) Para siswa harus diajar memahami sistem kaedah bahasa: tata bahasa dijelaskan dan didiskusikan dengan tuntas; e) Pembelajaran bahasa harus selalu “bermakna”.[14]

2. Pendekatan Aural-Oral
Pendekatan ini dikembangkan oleh para pakar linguistic di Universitas Michigan dan Universitas-Universitas lain lainnya. Pendekatan ini menganjurkan melatih aural terlebih dahulu dalam pembelajaran bahasa. Kemudian diikuti latihan ucapan, latihan berbicara, membaca, serta terakhir latihan menulis. Pendekatan ini dijabarkan dalam bentuk metoda Audiolingual dalam proses pembelajaran.
Pendekatan ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Wittgenstein II yang mengakui keberadaan banyaknya jenis pemakaian bahasa. Pendekatan ini juga melihat bahwa latihan membuat sempurnanya suatu pembelajaran.[15] Oleh karena itu, proses pembelajaran bahasa yang menggunakan pendekatan ini sangat mengutamakan pemberian tugas/latihan kepada peserta didik agar segala teori yang dipelajarinya dapat dimengerti dan bermakna terhadapnya.

3. Pendekatan Komunikatif
Pendekatan ini dilatarbelakangi oleh pandangan interaksional yang telah dijelaskan pada bagian lalu tentang epistemology. Pendekatan ini diawali oleh teori yang menyatakan “bahasa sebagai alat komunikasi”. Dengan demikian, tugas pembelajaran bahasa adalah untuk mengembangkan kompetensi komunikatif. Kompetensi yang dikembangkan oleh pendukung pendekatan ini dapat juga dikaitkan dengan fungsi bahasa.
Haliday mengemukakan tujuh fungsi bahasa yang perlu dikuasai oleh pembelajar bahasa. Fungsi tersebut adalah:
a) Fungsi Instrumental, yaitu menggunakan bahasa untuk mendapatkan sesuatu.
b) Fungsi Representasional, yaitu menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan informasi.
c) Fungsi Interaksional, yaitu menggunakan bahasa untuk menciptakan interaksi dengan orang lain.
d) Fungsi Personal: menggunakan bahasa untuk mengekspresikan perasaan-perasaan dan makna-makna pribadi.
e) Fungsi Heuristik: menggunakan bahasa untuk untuk belajar dan menemukan sesuatu.
f) Fungsi Imaginatif: menggunakan bahasa untuk menciptakan dunia imaginasi.
g) Fungsi Regulatori: menggunakan bahasa untuk mengawasi perilaku orang lain.[16]
Fungsi-fungsi ini harus dikembangkan dalam pelaksanaan pendidikan bahasa. Para guru yang menggunakan pendekatan komunikatif perlu mencari metoda-metoda yang tepat, juga tehnik mengajar yang sesuai agar pembelajar bahasa dapat memfungsikan kesemua fungsi ini.

4. Pendekatan Ganda
Pendekatan ganda merupakan adaptasi dari pendekatan metode langsung, pendekatan Metode Responsi Fisik Total, dan Pendekatan Alamiah.[17]Metode Responsi Fisik mengacu pada pendekatan pemahaman (Comprehension Aproach) yang berkeyakinan bahwa:
a. kemampuan pemahaman mendahului keterampilan-keterampilan produktif dalam pembelajaran suatu bahasa;
b. pengajaran berbicara hendaknya ditunda sampai keterampilan-keterampilan pemahaman terbentuk secara mantap.
c. Keterampilan-keterampilan justru diperoleh melalui pengalihan menyimak pada keterampilan-keterampilan lain.
d. pengajaran seyogyanyalah lebih banyak memberi penekanan kepada makna daripada kepada bentuk.
e. pengajaran hendaklah memperkecil tekanan atau ketegangan pada pembelajar.[18]

Pandangan di atas adalah merupakan pendapat Richard & Rogers yang dipetik oleh Henry Guntur Tarigan. Pandangan ini digabung dengan pandangan yang mengedepankan kemampuan berbicara dalam pembelajaran bahasa, kemudian ditambah lagi dengan pandangan pendekatan alamiah yang mengatakan:
a) Komprehensi mendahului produksi atau dengan kata lain, menyimak (membaca) mendahului kemampuan berbicara.
b). Kemampuan produksi diperbolehkan muncul secara bertahap.
c). Silabus terdiri dri tujuan-tujuan komunikatif.
d). Kegiatan-kegiatan dalam kelas haruslah berfokus pada topic-topik yang menarik hati dan relevan dengan para siswa dan mendorong mereka untk mengekspresikan gagasan-gagasan, pendapat-pendapat, keinginan-keinginan, perasaan-perasaan mereka.[19]
Dari perpaduan ketiga pendekatan tersebut, terbentuklah pendekatan ganda yang memiliki tujuh ciri, yaitu:
a) Bahasa diturunkan/diciptakan oleh pembicara/penutur.
b) Bahasa adalah (bagian dari) budaya.
c) Bahasa sasaran dipakai sebagai media pengajaran.
d) Satu penekanan pada setiap pelajaran.
e) Keempat aspek keterampilan berbahasa diajarkan serempak.
f) Tata bahasa diajarkan secara induktif dalam bahasa sasaran.
g) Bahasa sasaran diperkenalkan melalui dialog atau tanya jawab.[20]
Pendekatan ini dapat dijabarkan dengan menggunakan metoda yang senada, umpamanya: metode langsung, metode Tanya jawab, metode alamiah, drill. Ia juga menuntut agar guru tampil lincah, terampil dan pintar dalam segala aspek kebahasaan, serta dapat menyesuaikan materi pembelajaran dengan pembelajar.

D. METODE
Metode adalah penjabaran dari pendekatan yang dipilih. Guru bahasa dalam melaksanakan proses pembelajaran harus memilih terlebih dahulu pendekatan yang digunakannya. Setelah itu baru dapat menentukan metode-metode yang ingin digunakannya, tentunya yang senada dengan pendekatan yang dipilihnya. Kemudian guru dapat melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan metode yang ditetapkannya. Banyak metode yang dapat digunakan untuk pembelajaran bahasa, yaitu antara lain:
1. Metode langsung
2. Metode Alamiah
3. Metode Psikologi
4. Metode Fonetik
5. Metode Membaca
6. Metode Gramatika
7. Metode terjemah
8. Metode Gabungan
9. Metode Pembatasan Bahasa
10. Metode Praktek-Teori
11. Metode Meniru dan Menghafal
12. Metode Audiolingual
13. Metode Sugestopedia
Berikut ini merupakan penjelasan dari masing-masing metode tersebut, agar dapat lebih terlihat ciri khasnya, sehingga para guru bahasa asing dapat memilihnya dalam melaksanakan tugasnya.

1. Metode Langsung
Yang dimaksud dengan metode langsung adalah metode yang menuntut guru bahasa untuk mengajarkan peserta didiknya dengan langsung menggunakan bahasa asing yang menjadi sasaran. Guru tidak boleh menggunakan bahasa lain selain bahasa asing yang diajarkan.[21]
Teknik yang harus ditempuh dalam mengajar bahasa Arab dengan menggunakan metode ini adalah:
a) Latihan ucapan.
b) Menyimak
c) Pengulangan secara berkelompok, kemudian baru secara perorangan.
d) Pemahaman
e) Penguasaan bahan dialog
f) Drill/latihan
g) Menyimpulkan
h) Membaca
i) Menulis[22]

2. Metode Alamiah
Metode alamiah mirip dengan metode langsung. Kedua-duanya bertujuan agar peserta didik dapat berkomunikasi dengan bahasa sasaran. Bedanya, metode langsung tidak mengajarkan kaidah-kaidah tata bahasa, sedangkan metode alamiah mengharuskan peserta didik menguasai tata bahasa dalam rangka dapat berkomunikasi dengan bahasa sasaran. Metode ini dilandasi oleh lima prinsip dasar, yaitu: a. kompetensi langsung b. meningkatkan tata bahasa; c. mengutamakan perolehan bahasa; d. mengutamakan faktor afektif; e. sangat mementingkan kosakata.[23]

3). Metode Psikologi
Landasan metode psikologi ini adalah tanggapan psikologis dan asosiasi. Ciri khasnya:
a. Menggunakan media, bentuk-bentuk geometris, matematis, gambar-gambar untuk dapat memperoleh gambaran-gambaran psikologis dan mengasosiasikannya dengan kata.
b. Pelajaran dimulai dari kosakata-kosakata yang kemudian dirangkai menjadi kalimat-kalimat pendek yang tunduk di bawah satu topik. Kemudian, kalimat-kalimat ini dijadikan satu judul pelajaran. Setelah itu, dikumpulkan beberapa judul menjadi satu bab, terakhir bab-bab yang ada dijadikan satu makalah.
c. Mula-mala pelajaran disajikan secara lisan, kemudian baru digunakan buku.
d. Boleh menggunakan bahasa peserta didik dalam rangka pembelajaran bahasa asing.
e. Pelajaran Insyak diajarkan setelah setelah selesai mempelajari beberapa bahan Muthalaah.
f. Pengajaran membaca dilaksanakan setelah diajarkan gramatika.[24]

4. Metode Fonetik
Metode ini merupakan salah satu penunjang terbentuknya metode langsung. Dia dianggap sebagai fase fonetik dari metode langsung.[25] Pembelajaran Bahasa Arab dimulai dengan melatih pelafalan huruf-huruf Arab terlebih dahulu. Kemudian, baru dilatih mengucapkan kalimat-kalimat pendek. Terakhir, dilatih mengucapkan kalimat-kalimat panjang. Setelah itu, kalimat-kalimat tersebut disusun hingga menjadi bahan percakapan atau sebuah cerita. Pembelajaran bahasa dengan metode ini juga mengajarkan gramatika secara deduktif. Pelajaran Insyak merupakan pengungkapan kembali apa yang didengar dan apa yang dibaca.

5. Metode membaca
Metode ini bertujuan untuk mencapai keterampilan membaca bahasa sasaran. Pelajaran bahasa dimulai dengan menyajikan beberapa kosa kata kepada peserta didik. Setelah mereka menguasai kosakata, baru beranjak ke bacaan. Guru boleh menterjemahkan kosa kata yang harus dihafal tersebut agar murid dapat mengetahui artinya, atau boleh juga dengan menggunakan gambar. Peserta didik harus menghafal kosa kata sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh kurikulum. Mereka juga harus membaca materi-materi lain sebagai tambahan untuk materi-materi yang telah mereka pelajari sebelumnya. Materi tersebut bisa berbentuk cerita, bisa pula berbentuk ringkasan-ringkasan suatu kisah.[26]

6. Metode Gramatika
Ciri khas metode ini adalah mengharuskan peserta didik menghafal gramatika bahasa sasaran dan menghafal kata-kata tertentu. Pilihan kata-kata tersebut sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa yang berlaku.[27] Menggunakan metode ini menghasilkan peserta didik yang menguasai gramatika bahasa sasaran.

7. Metode Terjemah
Kegiatan pembelajaran bahasa berkisar pada penterjemahan materi Muthalaah ke bahasa peserta didik dan sebaliknya. Selain itu, peserta didik juga diharuskan menghafal kaidah-kaidah bahasa asing yang mereka pelajari. Penggunaan metode ini tidak membutuhkan guru bahasa yang menguasai bahasa secara aktif. Metode ini dapat menghasilkan peserta didik yang mampu menguasai teks bahasa asing yang dipelajari.

8. Metode Gabungan
Metode ini merupakan gabungan dari Metode Langsung, Metode Qawaid dan Terjemah. Pengguna metode ini dalam mengajar harus melalui empat langkah berikut secara berurutan, yaitu: pertama-tama guru harus mengajar percakapan, kedua guru harus mengajar keterampilan menulis, kemudian guru harus mengajar muridnya memahami bahasa sasaran, terakhir baru diajar membaca.
Guru yang menggunakan metode ini melatih peserta didiknya untuk menggunakan bahasa secara lisan, membiasakan mereka membaca dengan suara nyaring, menterjemah teks, berdiskusi, dan mengajarkan gramatika bahasa sasaran. Guru mengajar bahasa dengan menggunakan alat peraga.

9. Metode Pembatasan Bahasa
Pengajaran Bahasa Arab dengan menggunakan metode ini dijalankan dengan memilih kata-kata dan kalimat-kalimat yang tinggi frekuensi pemakaiannya sehari-hari. Ciri khas metode ini pada pembatasan dan gradasi penggunaan kata dan kalimat.

10. Metode Praktek-Teori
Sesuai dengan namanya, metode ini mengutamakan praktek berbahasa daripada mempelajari teori kebahasaan. Perbandingan antara praktek dengan teori 3:7.[28] Murid menghafal contoh-contoh berulangkali secara beraturan, atau dengan meniru kaset atau penutur asli secara langsung. Kemudian peserta didik menganalisis kalimat-kalimat tersebut, baik yang berbentuk kata maupun ungkapan kalimat.

11. Metode Meniru dan menghafal
Mengajar Bahasa Arab dengan menggunakan metode ini membutuhkan penutur asli, karena belajar bahasa menurut metode ini dilandasi oleh pembiasaan dan latihan (drill) baik untuk mempelajari gramatika, menyusun kalimat, berbicara dengan benar, atau menggunakan kosakata. Untuk melatih peserta didik menggunakan kosakata, mereka harus meniru guru dan penutur asli, dan menghafal kalimat-kalimat yang mereka tiru.

12. Metode Audiolingual
Metode ini menggunakan dialog sebagai sarana utama penyajian bahasa, juga menggunakan laboratorium untuk melatih keterampilan bahasa. Selain itu, metode ini juga mementingkan latihan pola kalimat dan kegiatan aplikatif.[29]

13. Metode Sugestopedia
Ciri menonjol pembelajaran Bahasa Arab dengan menggunakan metode ini adalah: pemusatannya pada musik dan ritme untuk pembelajaran. Dalam pelaksanaan metode ini ditekankan pada memorisasi pasangan-pasangan kosakata dan menterjemahkannya ke dalam bahasa asli. Bahan yang dipelajari berupa teks dan rekaman. Prosedur yang ditempuh dalam proses pembelajaran melalui tiga tahapan, yaitu: tahap mendiskusikan bahan yang lalu, tahap penyajian bahan baru, dan mendiskusikannya, memeriksa satu dialog baru beserta terjemahannya, dan tahap ketiga adalah tahap samadi dan penayangan musik.[30]
E. Tujuan Pendidikan Bahasa
Ayat 13 surat Al-Hujurat mendorong umat Islam untuk mempelajari berbagai bahasa agar dapat berinteraksisosial dalam bingkai takwa. Dengan demikian, tujuan mempelajari bahasa adalah untuk berinteraksi sosial dalam bingkai takwa. Selain itu, tujuan pendidikan bahasa yang dikandung dalam surat Al-‘Alaq adalah untuk menggali ilmu pengetahuan agar memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tujuan pendidikan bahasa secara umum adalah untuk memupuk rasa cinta dan kebanggaan terhadap tanah air, untuk menumbuhkan kesadaran sosial pada individu, memperluas wawasan seseorang, dapat menikmati keindahan di mayapada ini, untuk melatih individu agar dapat mengeluarkan idenya dengan baik.[31]
Tujuan mempelajari Bahasa Arab untuk umat Islam sangat terkait dengan rasa keagamaan mereka. Di samping itu, bahasa ini dipelajari juga karena alas an ekonomi,politis. Negara-negara Arab dikenal kaya kandungan minyaknya. Oleh karena itu peran ekonomis dan politisnya diperhitungkan dunia internasional. Untuk memperlancar hubungan perdagangan serta hubungan diplomasi diperlukan penguasaan bahasa Arab.

F. Kesimpulan
Pendidikan bahasa sangat diperlukan manusia, karena ia dikaruniai Allah suatu kelebihan berupa akal. Melalui pendidikan bahasa akal manusia terasah dan seluruh potensinya dapat dikembangkan. Para filosuf menyadari betapa pentingnya pendidikan bahasa, sehingga mereka ikut memikirkannya, mencari hakikat bahasa, serta berupaya untuk mengembangkannya.
Diantara mereka itu muncul Wittgenstein, J. Lacan dan lain-lain. Dari mereka ini dapat diketahui adanya aneka ragam pendapat tentang bahasa. Wittgenstein dengan Meaning is usenya yang menjadi insprirasi untuk dunia pendidikan bahasa agar memberi perhatian terhadap pengajaran gramatika, dan dalam penyajian kata harus berada dalam konteks kalimat, tidak dalam bentuk terlepas-lepas. J. Lacan yang mengaitkan antara bahasa dan keseimbangan mental sehingga dalam dunia pendidikan bahasa terlihat dampaknya, antara lain dikaitkan ciri anak cerdas ataupun orang yang terganggu mentalnya dengan bahasa.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam pendidikan bahasa ada beberapa macam. Pendidikan Islam menggunakan pendekatan yang antara lain berbentuk pendekatan komunikatif, pendekatan interaktif.
Islam tidak memberikan patokan khusus untuk metode yang digunakan dalam pendidikan bahasa. Tetapi Islam memberikan alternatif-alternatif. Umpamanya: dalam mencapai keterampilan membaca dan berbicara dapat digunakan metode meniru dan metode mengulang-ulang. Para ahli bahasa mengajukan sejumlah metode yang dapat digunakan untuk mengajar bahsa asing. Untuk memilihnya tentu para pendidik harus menyesuaikan dengan pendekatan yang tetapkannya untuk mengajar bahasa.
Di samping itu guru juga harus mempertimbangkan beberapa hal lainnya dalam memilih metode yang akan digunakan, seperti tujuan yang ingin dicapai, materi yang diajarkan, peserta didik yang dihadapi, kemampuan guru itu sendiri, situasi dan kondisi, kelebihan dan kekurangan metode alternatif, media yang tersedia, waktu.
Tujuan pendidikan bahasa antara lain untuk berkomunikasi, memperoleh dan mengembangkan ilmu pengetahuan, menggali budaya suatu bangsa. Tujuan pendidikan bahasa menurut Islam adalah agar setiap muslim dapat mengaktualisasikan diri dalam menghadapi kehidupan ini dengan menggali sumber kehidupan dengan modal ilmu dan takwa, serta menyiapkan diri untuk kehidupan akhirat dengan modal tersebut juga.
Peranan bahasa di sini adalah sebagai alat penggali ilmu, alat mensosialisasikan ilmu, dan alat menghayati ilmu. Melalui pendidikan bahasa dapat dilakukan pendidikan watak, sehingga sangat tepat ungkapan pepatah yang mengatakan “bahasa menunjukkan bangsa”. Suksesnya pendidikan bahasa menjadi suatu hal yang sangat urgen untuk kemajuan suatu bangsa.

*Dra. Tri Qurnati, M.Ag merupakan Dosen Tetap Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh.

Endnotes

[1] Muhammad Munir Mursi, Falsafah al-Tarbiyyah wa Madarisiha, (Kairo: ‘Alam al-Kutub, 1995), hal. 122.
[2] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1977), hal. 118.
[3] Ibid, hal. 18.
[4] Soeryono Sukanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), 67.
[5] Henry Guntur Tarigan, Metodologi Pengajaran Bahasa, (Jakarta: Depdikbud, 1988), hal. 6.
[6] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hal. 596.
[7] Achmadi, Filsafat… , hal.12.
[8] Ibid, hal. 125-126.
[9] Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta: Gramedia, 1996), hal. 138-139.
[10] Ibid, hal. 101.
[11] Achmadi, Filsafat…, hal. 126.
[12] Tarigan, Metodologi…, hal. 12-13.
[13] Ibn al-Katsir, Tafsir Al Qur'an al-Karim, jilid 4, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), hal. 325.
[14] Tarigan, Metodologi…, hal. 158-163.
[15] Ibid, hal. 139.
[16] Ibid, hal. 282.
[17] Ibid, hal. 174.
[18] Ibid, hal. 185.
[19] Ibid, hal. 210-211.
[20] Ibid, hal. 173.
[21] Muhammad ‘Ali al-Khawli, AsalibTadris al-Lughah al-‘Arabiyyah, (Riyadh: Dar al-‘Ulum, 1982), hal. 22.
[22] Depag RI, Metode Pengajaran Bahasa Arab, (Jakarta: Depag RI, 1989), hal.12-13.
[23] Tarigan, Metodologi…, hal. 201
[24] Tri Qurnati, “Turuq Tadris al- Lughah al-‘Arabiyyah Li SMAN Banda Aceh”, Skripsi tidak diterbitkan, (Banda Aceh: IAIN Ar- Raniry, 1981), hal.17-18.
[25] Mahmud Kamil al-Naqah, Asasiyyat Ta’lim al-‘Arabiyyah Li Ghair al-‘Arab, (Khartum: Ma’had al-Khartum, 1978), hal. 38.
[26] Qurnati, “Turuq Tadris…”, hal.17-18.
[27] Ibid, hal. 18.
[28] Ibid, hal. 21.
[29] Tarigan, Metodologi…, hal. 144.
[30] Ibid, hal. 304-309.
[31] Muhammad Salih Samak, Fan al-Tadris Li al-Tarbiyah al-Lughawiyyah, (Kairo: Dar al-Fikr, 1998), hal.44-45.

0 komentar:


Blogspot Template by Isnaini Dot Com